1. Tanda dan Tingkatan Tanda


Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, implisit didalamnya adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan diri pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif, demikian yang disampaikan oleh Ferdinand de Saussure (1966). Dewasa ini ada kecenderungan yang memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan desain sebagai fenomena bahasa, karenanya seluruh praktik sosial itu dapat pula dipandang sebagai tanda, maka sangatlah dimungkinkan menggunakan semiotika sebagai metode pembacaan dalam berbagai cabang keilmuan.

Tanda

Elemen dasar pada semiotika adalah tanda, menurut Saussure tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna; atau sebuah tanda (sign) terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah citra fisik tanda seperti yang kita persepsi (seperti tulisan di atas kertas atau suara di udara); petanda adalah konsep mental yang diacukan penanda. Aturan main yang menjadi syarat adalah konsep mental yang sama pada semua anggota kebudayaan yang sama, juga dalam penggunaan bahasa yang sama.

Untitled-2

Tanda dalam konteks strukturalisme bahasa tidak dapat berdiri sendiri, melainkan ada dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lain didalam sebuah sistem. Mengacu kepada bahasa sebagai sebuah struktur yang mempunyai aturan main tertentu (gramatikal, sintaksis), maka jika ingin memproduksi tanda sebagai ekspresi bermakna, siapapun haruslah mengikuti aturan main atau kode-kode sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana tanda itu diproduksi dan dibaca. Saussure membaginya dalam dua aksis, yaitu:

  1. aksis paradigmatik (paradigmatic) yang merupakan perbendaharaan tanda atau kata yang dari kumpulannya dipilih salah satu untuk dipergunakan.
  2. aksis sintagmatik (syntagmatic) yaitu penyusunan dan pengkombinasian tanda-tanda yang terpilih berdasarkan aturan atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Dalam bahasa, dapatlah dikatakan bahwa kosa kata merupakan paradigma dan kalimat merupakan sintagma. Kata adalah pilihan dari begitu banyak kata-kata lainnya, kemudian kata disusun menjadi sebuah kalimat dalam aturan tata bahasa, maka kalimat menjadi sintagma kata-kata.

Tingkatan Tanda

Pemaknaan dari sebuah teks hanya dimungkinkan bila tanda-tanda dikombinasikan dalam aturan tertentu, karena hubungan penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan terbentuk berdasarkan kesepakatan/konvensi, maka sebuah penanda membuka berbagai peluang bagi petanda atau makna.

Roland Barthes (dalam Piliang. 2010) mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).

  1. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Fiske (2007) memberi contoh sebuah foto tentang keadaan jalan, mendenotasi jalan tertentu; kata ‘jalan’ mendenotasi jalan perkotaan yang membentang diantara bangunan. Namun foto jalan yang sama dapat dibuat dengan cara yang secara signifikan berbeda, foto jalan dapat dibuat dengan menggunakan film berwarna, memilih saat matahari belum tinggi, menggunakan soft focus, dan membuat jalanan tampak ceria, hangat, komunitas yang manusiawi untuk anak-anak bermain disana. Atau foto jalan dibuat dengan film hitam putih, hard focus, kontras yang kuat, dan membuat jalan yang sama kelihatan dingin, tidak manusiawi, tidak ramah, dan lingkungan destruktif untuk anak-anak bermain disana. Kedua foto tersebut dapat diambil pada waktu yang hampir bersamaan dengan jenis film dan lensa kamera yang sedikit berbeda. Makna denotatif akan sama, namun perbedaannya ada dalam konotasinya.
  2. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Kedua foto jalanan yang sama tadi secara denotatif mengindikasikan jalanan yang sama, namun perbedaan penampilan pada kedua foto tadi menghasilkan makna yang berbeda, dengan kata lain: Denotasi merupakan reproduksi mekanis diatas film tentang objek yang ditangkap kamera; Konotasi adalah bagian manusiawi yang melibatkan aspek psikologis seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana cara memfotonya. Dengan demikian konotasi menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning).

Selain itu, Roland Barthes (1973) juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Tingkatan tanda dan makna dari Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Untitled-3


Leave a Reply